Entri Populer

Minggu, 04 Desember 2011

SIDIK JARI UMAT MEMENUHI GEREJA

“Uang saja tidak akan bisa membangun gereja ini,” ujar saya serius setiap kali membawa tour secara langsung ke lokasi pembangunan gereja ataupun tour visual melalui foto-foto pembangunan gereja dengan bangga. Saya biasa membanggakan pembangunan gereja di Bomomani. Bukan pertama-tama karena besarnya jumlah sumbangan uang dari para donatur (Jakarta, umat Bomomani dan Nabire) yang 1,6 milyar jumlahnya, bukan juga karena pastoran menutup biaya pembangunan yang tunainya bernilai sekitar 2 milyar itu. Apalagi jelas bukan karena ada seorang kontraktor yang menaksir biaya bisa mencapai sebelas milyar bila diproyekan atau bersihnya paling sedikit 4,5 milyar. Tapi saya bangga karena sumbangan non-tunai para petani, yang memang jarang punya uang tunai dengan angka nol lebih dari empat.
10Juli06 (4)Betapa tidak. Ketika pembangunan gereja pertama-tama diumumkan awal tahun 2005 lalu, para petani inilah yang lebih dulu bergerak. Begitu diumumkan kebutuhan gereja akan kayu, sejumlah petani tuan tanah langsung menyumbangkan pohon, sementara yang lain bersiap mengangkut kayu dari lokasi-lokasi penebangan, yang letaknya di atas gunung-gunung tinggi sejauh 1 – 2 jam dari pusat paroki. Amandus Iyai, menerangkan miniatur design pertama gereja baruMenunggu kayu-kayu yang ditebang siap diangkut, para petani meratakan setengah hektar tanah berbukit di bagian utara kompleks misi. Sumbangan mereka tidak tunggu gaji di akhir bulan, yang lambat sekali disetor oleh kebanyakan pegawai, yang dalam suatu rapat diantara pegawai – diwarnai tangisan haru – menjanjikan sumbangan masing-masing senilai satu sampai tiga jutaan rupiah. Lucunya, dia yang pertama menangis haru ingin menyumbang, ternyata yang paling sukar ditagih janjinya.
A (1)Kayu dan perataan tanah itu kecil, mungkin demikian para petani mengatakan sumbangan yang telah dia berikan itu. Karena selanjutnya mereka mengumpulkan batu-batu kali dan pasir, yang bisa menimbun pastoran seluas 15 X 14 meter persegi. Belum merasa puas menyumbang, mereka masih rela ikut perintah pak Amandus Iyai atas permintaan pak Agus Sipi untuk memecahkan batuan granit hanya, bahan utama campuran beton, dengan palu buatan sendiri dari baut-baut jembatan hasil pulungan pak Agus. Saya hanya memecahkan sepuluh ember tapi mereka menghasilkan puluhan kubik pecahan kerikil yang menggunung setinggi dua meteran di areal sekitar 32 meter persegi. Tapak tangan mereka lecet dan berdarah-darah, tapi semangat mereka mengejar kuota memecah kerikil tidak pudar. Dan masih juga balok dan papan, batu serta pasir berdatangan ketika tangan lecet umat masih menghantam palu dari baut jembatan, membongkar cadas menjadi koral-koral kecil. Bumm, bumm, kling, kling… Suara palu menjadi irama di antara komauga dan wani, mulai akhir 2005 sampai enam bulan pertama di tahun 2006, dua jenis irama lagu tradisional yang kerap dinyanyikan di kalangan umat mapia.
Akhirnya pada akhir bulan Agustus 2006, baja itu tiba di Nabire. Ukuran yang tidak sesuai pesanan membuat pusing panitia pembangunan gereja. Bagaimana kita mengangkut baja sepanjang 12 meter ke pedalaman, sementara untuk keluar dari pelabuhan saja sudah sulit. Kebetulan sekali terjadi kecelakaan di bulan Oktober 2006, mobil saya ditabrak sebuah truck tronton besar milik salah satu kontraktor jalan. Dengan lihai pak Agus membujuk penanggung jawab perusahaan itu, untuk mengangkut batang-batang baja ke Bomomani, 184 Km dari Nabire, mendaki setinggi 1500 meter ke pedalaman. Pendek kata, baja diangkut sampai ke KM 112, karena kondisi jalan yang buruk tidak memungkinkan truck itu melanjutkan perjalanan. Walau cuma sekali membantu, hal ini memberi insipirasi pak Charles, manajer kontraktor Manunggal, yang kebetulan teman baik pak Agus untuk membantu pengangkutan sisa baja yang terkatung-katung di pelabuhan, menambah bengkak tanggungan biaya panitia.
Total truck Manunggal itu dua kali turun naik dari Nabire ke KM 112 namun masalah belum selesai, karena batangan baja masih terlalu panjang untuk dimuat sebuah truk yang hanya mampu mengangkut muatan maksimal 2,5 ton dan panjang baknya hanya tiga meteran. Maka baja dipotong-potong menggunakan las blender. Barulah 12 rate truck-truck mulai menjemput batangan baja tersebut, ada yang diangkut langsung ke Bomomani ada juga yang terpaksa diturunkan dulu di KM 165 karena jalanan rusak berat, kondisi umum yang terjadi tiap tiga bulan apalagi beberapa kali truck mengalami gangguan mesin. Pemuda-pemuda punya bagian, ketika di hari hujan itu truck membongkar muatan baja di KM 165 dan meluncur kosong melewati kubangan sedalam 2 meter di tengah jalan trans antar kabupaten tersebut. Belasan orang muda berdatangan ke lokasi dan mulai mengangkut naik lagi batangan baja setelah truck-truck lolos dari lubang buaya di KM 165. Di awal Nopember 2006 semua batangan baja sudah terangkut ke Bomomani meskipun harus diselingi insiden pencurian sebatang baja yang dijual kembali di Nabire, menambah repot pekerjaan pak Agus Sipi.
Gotong royong mengangkat menara lonceng 3 Des 2006 (1) Setelah para pekerja kontruksi baja datang dari Surabaya. Saya sengaja langsung membawa mereka naik ke pedalaman menelusuri medan off road alami Nabire – Bomomani. Kagum dan ngeri mereka akan medan yang begitu berat, hendak saya jadikan alasan menegur pengiriman potongan baja yang tidak sesuai pesanan. Hukuman buat mereka sudah menunggu di Bomomani, mereka harus menyambung kembali baja yang sudah dipotong-potong hingga sepanjang 4 meteran saja. Karena masih kagum dengan perjalanan yang amat menantang, mereka tidak merasa berat melakukan pekerjaan itu. Umat bahkan terheran-heran melihat kecepatan kerja mereka. Tanggal 15 Nopember 2006, seminggu setelah mereka tiba di Bomomani, ratusan umat berkumpul untuk selamatan menaikan kuda-kuda baja pertama untuk gereja baru, kuda-kuda baja pertama di seluruh pedalaman Papua. Tiga ekor babi dipanah dan setelah atraksi menarik saat mereka menaikkan kuda-kuda baja dengan teknik akrobatik yang berbahaya, para pekerja muslim dari Surabaya ini mencicip babi yang dihidangkan umat. Umat sekali lagi heran, sama herannya dengan para pekerja yang melihat semangat umat mengangkat batu-batu dan balok-balok besar ke lokasi pembangunan di akhir Nopember 2006… (baca ‘Jelajah Arsitektur Gereja’)
Natal 2006 adalah uji coba pertama gereja baru yang belum ada dindingnya itu. Selesainya kontruksi baja dan pemasangan atap membuat umat berpikir kerja berat sudah selesai. Tapi mereka keliru… tanpa terasa, pekerjaan yang harus mereka sumbang semakin berat. Kini mereka harus menganyam jubi, yang membutuhkan ketekunan – sesuatu yang agaknya lebih berat ketimbang mengangkat balok kayu, batu dan pasir. Memang benar, umat kelihatan agak kurang berdatangan terlibat dalam pembangunan. Tidak seperti dulu. pemasangan yubi untuk plafon Walau dua orang wartawan Kompas menginap dua minggu di pastoran guna meliput pembangunan gereja dan gerakan masyarakat pedalaman Papua di pertengahan Agustus 2007, umat secara relatif saya lihat loyo – meskipun demikian kedua wartawan masih sangat kagum akan semangat umat yang aktif menganyam jubi dan masih terus membawa batu dan pasir. Mereka kagum karena melihat sidik jari umat pada batu, kayu dan plafon gereja yang sedang dibangun…
23-25sept08 (24) Umat mulai kelihatan semangat lagi ketika di bulan Oktober 2007, aula dibongkar dan itu artinya rencana pembangunan asrama bukan sekedar omong kosong. Apalagi mudika sudah bergerak bersama Wahyu, relawan dari Jakarta, menggali terusan untuk membangun PLTA di kali Yoai. Seorang kontraktor pernah menaksir biaya proyek pembangunan gereja saja sekitar 7 sampai 11 milyar bila pemerintah yang buat, apalagi dengan proyek asrama dan listrik tenaga air. Umat melihat gentingnya situasi, mereka menghitung kemampuan, menghitung tenaga, menghitung dana dan menghitung hari peresmian di akhir Maret 2008 yang semakin mendekat.
Saat ini, 7 Februari 2008. Di Jakarta banyak orang keturunan tionghoa sedang ramai merayakan imlek, sementara di Bomomani umat dan panitia sama-sama bingung mengejar target penyelesaian pembangunan gereja, asrama dan PLTA yang semuanya harus rampung dalam pemberkatan dan peresmian 30 Maret 2008 nanti. Banyak tokoh umat bertanya, “apa bisa ditunda?” Saya bilang “tidak bisa tunda lagi!” apa bisa?…

Minggu, 24 Juli 2011

Bahasa Papua Hampir Punah, Universitas Oxford Rekam 3 Penutur Asli

Jayapura - Bahasa di tanah Papua, termasuk Papua Nugini hampir punah karena penutur asli yang rata-rata adalah orang tua meninggal. Universitas Oxford pun merekam tutur bahasa para penutur asli itu di Papua, salah satunya bahasa Dusner.

Universitas Oxford pun berkejaran dengan waktu untuk merekam 3 penutur asli bahasa Dusner yang tersisa di Papua, yaitu Emma (85), Enos (60) dan Anna (60) seperti dilansir AFP, Kamis (21/7/2011).

Menurut Wikipedia, bahasa Dusner adalah bahasa yang berkembang di Teluk Wondama dan Teluk Cenderawasih, Papua, Indonesia dan memang terancam punah karena hanya menyisakan 3 penutur asli.

Sementara antropolog asal Universitas Cenderawasih (Uncen) Yoseph Wally mengatakan dia tetap membuka telinganya lebar-lebar saat mengunjungi desa-desa di mana bahasa lokal Papua digunakan.

"Dari hari ke hari adalah Bahasa Indonesia (yang digunakan). Hanya orang-orang tua saja yang berbicara dialek lokal," ujar Wally.

Di beberapa desa yang dia kunjungi, bahkan ditemukan tidak seorang pun yang bisa mengerti bahasa daerahnya. "Beberapa bahasa menghilang dengan cepat, seperti Muris, yang dituturkan di sekitar sini (Jayapura) sampai 15 tahun lalu," imbuhnya.

Namun Wally optimis, punahnya bahasa lokal Papua itu bisa diantisipasi dengan dikembangkannya seni dan bahasa. Apalagi orang Papua suka menyanyi dan menggelar perayaan, yang mengharuskan mereka memakai bahasa daerah.

"Dengan cara ini kaum muda akan menemukan arti dari bahasa daerah yang mereka nyanyikan," kata Wally.

Sementara penduduk Jayapura, Habel M Suwae mengatakan di dalam kota bahkan di hutan, bahasa Indonesia menjadi bahasa utama untuk warga di bawah 40 tahun, "Bahasa daerah digunakan untuk perayaan dan festival".

Tanah Papua, Papua-Indonesia dan Papua Nugini, merupakan tempat lebih dari 1.000 bahasa daerah berkembang, sekitar 800 jenis bahasa di Papua Nugini dan 200 jenis di Papua-Indonesia. Namun sebagian dari bahasa daerah itu memiliki penutur kurang dari 1.000 orang yang kebanyakan tinggal di desa-desa.

"Setiap seseorang mati, bagian kecil dari bahasa itu mati pula, karena hanya orang-orang tua yang menggunakannya," ujar Nico, kurator museum Uncen.

Pihak berwenang kadang-kadang dituduh tidak bertindak atau bahkan mendukung bahasa resmi untuk lebih mengintegrasikan penduduk, khususnya di Papua, Indonesia.

Namun menurut penasihat Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Dradjat, tidak peduli apa tindakan yang diambil untuk mempromosikan bahasa daerah di sekolah, "Adalah hampir mustahil untuk melestarikan bahasa jika tidak lagi digunakan di kehidupan sehari-hari".



****Franz Iko Wakei*****

Rabu, 13 Juli 2011

Isu PAW KPU Dogiyai, Dibantah

JUBI --- Sejak pekan lalu, beredar isu melalui pesan singkat (SMS) bahwa lima anggota KPU Kabupaten Dogiyai telah diberhentikan oleh KPU Provinsi Papua. Namun, isu itu ternyata tidak benar. Bantahan disampaikan Ketua KPU Kabupaten Dogiyai, Marselus Dou, S.Sos saat dihubungi JUBI, Selasa (12/7) siang.

“Tidak, itu isu saja. Isu yang ditiupkan oleh pihak-pihak yang menghendaki Dogiyai kacau,” ujarnya.

Menurut Marsel, hingga kini belum ada pemberitahuan resmi dari KPU Provinsi Papua. “Saya dan empat anggota KPU, termasuk bagian sekretariat belum terima informasi tertulis maupun secara lisan. Jadi, itu isu murahan saja.”

Pelaksanaan Pemilukada perdana di Kabupaten Dogiyai masih dijalankan oleh KPU pimpinan Marselus Dou. Bersamaan pula agenda Pilgub Papua tahun 2011. “Dua agenda ini, Pemilukada dan Pilgub, sedang dijalankan di Dogiyai. Untuk Pilgub, kami ke Jayapura untuk laporkan kepada KPU Provinsi Papua menyangkut segala kesiapan yang harus dilakukan oleh KPU Dogiyai,” kata Marselus Dou, mantan wartawan Timika Pos dan Tempo Interaktif.

Dikatakan, KPU Provinsi Papua hingga hari ini masih mempercayakan lima orang yang dilantik di Jayapura, untuk menyelenggarakan tahapan Pemilukada Dogiyai dan Pilgub Papua. Jika ada penilaian dan keputusan berdasarkan evaluasi kinerja selama, kata Dou, siap menerima sebagai konsekuensi logis sesuai aturan yang berlaku sah di seluruh wilayah Indonesia. “Isu yang dikembangkan oknum tertentu bahwa KPU Proinsi Papua dalam rapat pleno hari Rabu (6/7), telah mem-PAW-kan dua orang, bahkan versi lain, lima orang anggota KPU Dogiyai, itu sangat tidak benar,” ujarnya menegaskan.

Sesilius Dimi, SE, Anggota KPU Dogiyai yang ditanya terpisah, mengaku tak mengerti dengan isu miring dari pihak tertentu. Ia sendiri belum mendapat pemberitahuan secara lisan maupun tertulis dari KPU Provinsi Papua.

“Jumat lalu, saya sempat bersama Ketua KPU Provinsi Papua. Tapi saat itu tidak disampaikan informasi soal PAW anggota KPU Dogiyai. Kalau benar, tentunya saya diberitahukan,” tuturnya.

Masyarakat dan semua pihak terkait diminta tidak mudah termakan isu-isu menyesatkan yang sengaja ditiupkan hanya untuk memperkeruh situasi Dogiyai yang saat ini aman.
Franz Ikow(J/04)

Senin, 11 Juli 2011

Catatan Pergerakan Papua

Upaya Pengalihan Perhatian Di Papua Barat Menjelang Peluncuran IPWP

Oleh : WPToday
Jayapura, WPToday - Agenda peluncuran International Parlementarians for West Papua (IPWP) atau Kelompok Parlemen Internasional untuk Papua Barat di London, Inggris pada hari Rabu, 15 Oktober 2008 waktu setempat atau hari Kamis 16 Oktober 2008 Waktu Papua Barat ternyata tidak luput dari serangan penguasa republik terkutuk ini. Melalui berbagai tipu daya dan penyusupan di hampir setiap sektor dan basis-basis rakyat Papua, penguasa penjajah NKRI melalui intelijen TNI, Polri, BIN dan BAIS melakukan berbagai manuver berupa kegiatan-kegiatan keagamaan, olah raga, akademik, aksi massa, penipuan dan penyesatan isu, pernyataan rekayasa, sweeping dan teror yang intinya untuk mengalihkan perhatian rakyat Papua dan memecah konsentrasi mereka agar dukungan masyarakat internasional yang bergengsi ini tidak menjadi perhatian segenap rakyat Papua Barat.

Serangan penjajah dilakukan dengan memanfaatkan lembaga-lembaga penopang penjajahan di Papua Barat seperti Gereja, Group Olah Raga, Organ Anti Rakyat Papua, Media Massa dan digerakkan oleh orang-orang yang lihai menipu dan pandai memutar-balik fakta.

Lembaga Keagamaan

Menyusul penolakan SKP Keuskupan Jayapura terhadap agenda IPWP melalui Bruder Budi Hernawan OFM, pihak gereja di Papua melakukan berbagai kegiatan berupa KKR, Pembinaan dan Upacara tertentu yang melibatkan banyak anggota jemaat (umat) sejak tiga bulan terakhir ini. Salah satu kegiatan yang menonjol adalah Peringatan 75 Tahun Injil masuk di daerah Muyu, Boven Digoel. Sekalipun tanggal yang tepat adalah tanggal 10 Oktober, pihak Gereja Katolik Keuskupan Agung Merauke melakukan setting sedemikian rupa sehingga Perayaan 75 Tahun tersebut dilaksanakan secara berturut-turut mulai tanggal 10, 12, 14, 15, 16 dan 17.
Tanggal 10 Oktober 2008, perayaan dilaksanakan di Ninati sebagai pusat masuknya Injil dan kota-kota lain diluar Boven Digoel seperti Jayapura. Di Jayapura, kegiatan dipusatkan di Gereja Kristus Sang Penebus Kota Raja Dalam. Sedangkan tanggal 12, kegiatan dilaksanakn di Minditanah, tanggal 14 dilaksanakn di Tanah Merah dan tanggal 16 akan dilaksanakan di Bade (Mappi), dipusatkan di kompleks Muyu-Mandobo, Mememu.
Selain kegiatan ibadah, Peringatan 75 tahun tersebut dimeriahkan dengan berbagai kegiatan pawai iman, pasar malam dan kegiatan-kegiatan tambahan lainnya sehingga akan menyita waktu rakyat Papua sampai tanggal 17 Oktober 2008. "Kalau kita tambah dengan waktu istirahat setelah kegiatan, maka masyarakat yang lelah dengan kegiatan marathon ini akan beristirahat sampai sekitar tanggal 20 Oktober 2008," jelas seorang warga Tanah Merah bernama Karel.

Saat ini, konsentrasi rakyat Papua di Boven Digoel semua diarahkan untuk terlibat dalam Perayaan 75 Tahun itu sehingga mereka tidak terlalu berkonsentrasi terhadap momen peluncuran IPWP. Disisi lain, para tokoh-tokoh gereja di Tanah Merah dan Mindiptanah juga secara aktif melakukan kampanye berupa himbauan terangan-terangan agar rakyat setempat tidak boleh mempercayai informasi berupa SMS tentang kegiatan IPWP.

Boven Digoel sebagai sebuah kabupaten yang dipimpin oleh para koruptor yang anti rakyat pribumi menjadi lahan subur bagi kepentingan penjajah NKRI yang dengan leluasa memanfaatkan gereja Katolik sebagai mesin penopang kekuasaan NKRI di Papua Barat. Dengan demikian, upaya pengalihan perhatian rakyat Papua di Tanah Merah Digoel boleh dikatakan sukses karena mendapat penguatan moral dan spiritual dari Gereja Katolik.

Group Olah Raga

Kegiatan-kegiatan Olah Raga dalam dunia moderen saat ini tidak pernah lepas dari judi dan berbagai kepentingan politik. Olah Raga yang terperangkap judi bisa ditelusuri mulai dari keterkaitan manajer klub sepak bola atau promotor tinju dengan penjudi kelas teri di negara kuli seperti Indonesia sampai ke penjudi kelas kakap di negara-negara makmur, yang seperti di Eropa, bersarang di Pulau Sisilia.

Kepentingan politik yang menyertai olah raga bisa ditelusui akarnya mulai dari kepentingan kursi seperti banyak manajer klub sepak bola di Indonesia yang merupakan orang nomor satu di provinsi, kabupaten atau pun kota, dan pemanfaatan olah raga sebagai alat untuk mengalihkan perhatian rakyat di daerah-daerah jajahan seperti Papua Barat.

Di Papua saat ini, klub olah raga seperti sepak bola telah menunjukkan fungsinya yang sebenarnya sebagai instrumen penting dalam membantu proses penjajahan dengan cara menyedot perhatian dan energi publik ke lapangan sepak bola seperti Mandala, tayangan sepak bola di beberapa stasiun TV dan liputan sepak bola di halaman-halaman koran seperti Sportif di SKH Cenderawasih Pos maupun Radio seperti RRI Nusantara V Jayapura.

Salah satu bukti nyata dari proses pengalihan perhatian publik di Papua lewat kegiatan olah raga yang saat ini terjadi adalah setting-an jadwal pertandingan yang jatuh pada tanggal 15 Oktober 2008. Tanggal peluncuran IPWP di London ini telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga ia bertepatan dengan jadwal pertandingan antara Persipura Jayapura vs Persik Kediri.

Target penjajah sangat jelas, yaitu untuk mengalihkan perhatian rakyat Papua, menyedot energi mereka untuk menonton pertandingan sepak bola. "Apabila rakyat Papua di Jayapura baku rampas angkutan ke lapangan Mandala, atau duduk menganga di layar TV, buka telinga lebar-lebar dengar siaran sepak bola di radio atau buka mata melotot baca liputan sepak bola di koran maka penjajah pasti tertawa puas," tutur Amos, seorang Mahasiswa salah satu Perguruan Tinggi di Jayapura kepada WPToday.

Kegiatan Organ Anti Rakyat

Organ Anti Rakyat adalah organ-organ yang melakukan berbagai kegiatan di luar kepentingan rakyat Papua. Mereka biasanya melakukan aksi atau kegiatan lain berupa seminar dan diskusi karena didorong oleh kepentingan pribadi seperti perebutan kursi kekuasaan, perebutan dana Otsus dan kepentingan lain yang tidak terlepas dari panggilan perut.

Selama dua hari terakhir ini, disela-sela kesibukan rakyat Papua dalam persiapan menyambut peluncuran IPWP, beberapa organ Anti Rakyat Papua dikabarkan melakukan pertemuan-pertemuan dan mobilisasi massa untuk melawan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua karena lembaga ini dinilai tidak mengakomodir kepentingan kelas penghisap asli Papua.

Propaganda mereka berupa rencana boikot Pemilu 2009 dengan alasan bahwa orang asli Papua tidak ditempatkan pada nomor jadi dalam daftar calon legislatif sebenarnya mengusung kepentingan pribadi dan merupakan sebuah cara jitu untuk menumpulkan rencana Boikot Pemilu 2009 dalam bentuk Mogok Sipil Nasional Papua yang diagendakan oleh Front Pepera PB dan saat ini telah diterima secara sadar oleh mayoritas rakyat terhisap-terjajah di Papua.

Setelah melakukan serangkaian pertemuan di Sekretariat Majelis Muslim Papua, beberapa organ anti rakyat siap memobilisasi massa untuk berdemo pada Rabu, 15 Oktober 2008. Dalam konteks kepentingan rakyat Papua secara umum, demo yang diorganisir oleh para Caleg dan Parpol ini jelas merupakan demo tandingan, sekalipun sikap politik mereka tidak secara jelas menolak peluncuran IPWP.

Dari SMS mereka yang sempat diterima Redaksi WPToday, terlihat bahwa dominasi intelijen sangat dominan dalam rencana mobilisiasi massa yang direncanakan. Atas petunjuk intelijen berupa arahan resmi atau berupa konspirasi secara halus, kegiatan mereka jelas akan menyedot energi massa rakyat Papua di Jayapura sehingga momen peluncuran IPWP dan aksi dukungan yang akan dilakukan di Jayapura akan kehilangan makna, opini dan target politik.

Penipuan & Penyesatan Isu

Sejak Free West Papua Campaign (sebuah group pendukung Papua Merdeka di Inggris) mengeluarkan edaran resmi tentang rencana peluncuran IPWP dan ditanggapi oleh rakyat Papua Barat dalam bentuk dukungan moral (doa) dan materil (penggalangan dana), Intelijen Indonesia sempat kalang kabut dan merasa kecolongan. Betapa tidak, semua fasilitas yang disediakan oleh penjajah berupa teknologi informasi, logistik penjajahan, jalur transportasi, jalur birokrasi penjajah dan jasa bank semuanya dimanfaatkan secara baik oleh rakyat Papua sehingga kegiatan peluncuran IPWP dipastikan akan berhasil dengan memuaskan.

Beberapa hari lalu, Ketua Panitia Peluncuran IPWP, Hon. Andrew Smith, MP menginformasikan dari London bahwa persiapan kegiatan IPWP telah rampung 90% dan para tamu yang diundang dari berbagai negara telah hadir mewakili rakyat masing-masing negara. Hal ini menimbulkan kepanikan yang luar biasa di kalangan Intelijen dan sebagai jawabannya, mereka menyebar berbagai informasi yang bersifat penipuan sebagai bagian dari strategi penyesatan isu.

Di hampir semua kota di Papua, beredar kabar bohong bahwa Papua akan Merdeka, lepas dari NKRI tanggal 15 Oktober 2008 melalui peluncuran IPWP. Oleh karenanya, rakyat diminta untuk beraktifitas seperti biasa dan tidak perlu berkonsentrasi pada kegiatan IPWP karena ada orang-orang khusus yang mengatur kegiatan itu.
Ada kabar lain yang beredar bahwa tentara Inggris, AS, Australia dibawah pimpinan tentara Israel, semuanya sudah tiba di perbatasan RI-Papua Nugini dan akan menyerang Indonesia seandainya presiden SBY tidak melepas Papua Barat pada tanggal 15 Oktober 2008. Penipuan ini disebarluaskan dengan memanfaatkan cara berpikir rakyat Papua yang kebanyakan masih dekat dengan hal-hal magis, agamis dan kargoisme.

Di hari-hari terakhir menjelang peluncuran IPWP, beredar juga informasi bahwa rakyat Papua di areal HPH Korindo di Assikie, Boven Digoel, sedang ditipu oleh intelijen TNI-Polri untuk tidak keluar rumah mulai tanggal 15 s/d 17 Oktober 2008 karena akan ada gempah bumi dashyat di seluruh dunia. Para penipu mengatakan bahwa gempa bumi akan terjadi karena dunia sudah sangat tua.

Untuk menepis penipuan ini, berbagai diskusi sudah dilakukan per telepon, SMS dan selebaran yang dimobilisasi oleh KONTAK Papua! dan WPToday. Upaya ini mendapat sambutan positif dari rakyat Papua, ditandai dengan banyaknya kunjungan para netters melalui internet di http://kontak-papua.blogspot.com, http://wptoday.wordpress.com, antusias rakyat Papua yang tinggi dalam menyebarluaskan selebaran KONTAK Papua! dan penyebaran SMS berantai ke seluruh pelosok Papua melalui jaringan SMS WPToday.

Pernyataan Rekayasa

Seperti biasanya, ketika ada kegiatan besar yang diorganisir dalam rangka Papua Merdeka, NKRI selalu kalang kabut dan melakukan kegiatan tandingan berupa jumpa pers atau syukuran dan meminta orang-orang Papua yang secara khusus dipelihara sebagai penjilat untuk mengeluarkan berbagai pernyataan yang intinya menolak kegiatan Papua Merdeka. Karena kalang kabut, NKRI biasanya merekayasa tokoh-tokoh merah-putih yang sebenarnya berasal dari suku minoritas di Papua dan tanahnya sudah habis terjual ke tangan warga non Papua.

Hal yang sama terjadi saat ini dan, seperti biasanya, mereka memakai Ramses Ohee sebagai alat untuk melawan bangsa sendiri. Pria tua-bangka ini bukan baru dipakai untuk kepentingan hina ini. Di tengah-tengah masyarakatnya di Waena Kampung yang hidup dalam kurungan penyakit kulit, paru-paru basah, pelacuran brutal dimana para wanitanya mengenal seks bebas sejak usia 7, 8 atau 9 tahun, kanker payudara dan rahim, perumahan kumuh yang lengkap dengan bau saguweer, tokoh Pepera 1969 ini aktif mengeluarkan pernyataan-pernyataan mendukung integrasi Papua dalam NKRI.

Kegiatan Akademik

Kampus-kampus di Papua sebagai mesin pembuat agen penidas rakyat ternyata memainkan peran yang tidak kalah pentingnya dalam membantu penjajah dalam rangka menyedot energi massa, terutama mahasiswa. Berbagai cara, mulai dari pemberian banyak tugas oleh setiap dosen pengasuh mata kuliah, pengetatan kehadiran di ruang kuliah melalui sistem presensi sampai pada acara wisuda menjadi cara yang efektif untuk meloloskan kepentingan penjajahan.
Di Jayapura, salah satu kampus yang dipakai secara nyata untuk keperluan ini adalah STIE Port Numbay. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ini bersedia menyediakan dirinya dipakai untuk keperluan pengalihan opini karena hampir semua dosennya adalah PNS aktif di berbagai instansi pemerintah yang ada di Jayapura. Diasuh oleh Yayasan Cinta Tanah Air, sebuah yayasan yang secara rutin mendapat suntikan dana dari Pemprov Papua, Kampus ini memainkan peranan yang cukup menentukan.

Dalam setiap penerimaan mahasiswa baru, anak-anak pribumi Papua dari berbagai daerah menjadi prioritas. Banyak mahasiswa yang tertipu seolah-olah mereka diterima karena keberpihakan pihak akademik kepada rakyat Papua. Padahal, mereka diterima dengan mudah karena mayoritas orang Papua telah diketahui mentalnya sebagai orang yang suka membayar harga barang-barang mahal tanpa proses tawar-menawar.
Penghisapan terjadi secara brutal melalui SPP yang mahal, penjualan nilai dan kelulusan akademik oleh para dosen dibawah pimpinan Munawir Lobubun dan saat ini, kegiatan wisuda dilaksanakan tepat pada momen peluncuran IPWP.

Sweeping & Teror

Agenda peluncuran IPWP di London ternyata disikapi oleh Rakyat Papua secara khusus di kabupaten Jayapura, kabupaten Keerom dan Kota Jayapura. Kegiatan di-handle oleh sebuah Panitia bernama "Panitia Nasional Papua Barat Untuk IPWP". Seruan aksi damai berupa selebaran dan SMS sebagai undangan resmi telah disebar sejak Senin, 13 Oktober 2008 setelah Talk Show di Aula STT GKI IS Kijne Abepura. Menurut undangan tersebut, aksi damai akan dilaksanakan pada Kamis, 16 Oktober 2008 dengan Kantor DPR Papua sebagai sasaran utama.
Ternyata undangan tersebut ditanggapi dengan persiapan berupa rencana sweeping dan teror oleh TNI-Polri. Menurut rencana, Polisi akan melakukan sweeping secara besar-besaran mulai besok pagi, Rabu, 15 Oktober 2008 di beberapa titik sepanjang jalan Raya Jayapura-Sentani dan Aberupa-Arso. Sweeping dilakukan untuk menyita alat-alat tajam, selebaran, Hand Phone, USB Flasdisk, Disket dan CD yang mungkin dibawa oleh orang Papua.

Di sekitar Koya Koso, Koya Tengah, Koya Barat, Koya Karang, Koya Timur dan ruas jalan Abepura-Arso, petugas yang akan melakukan sweeping sudah menginap di rumah-rumah warga non Papua sambil mengintip aktivitas orang-orang Papua yang dicurigai akan melakukan mobilisasi massa dalam rangka demo tanggal 16 Oktober nanti.

Informasi tambahan yang diperoleh WPToday, bahwa mobilsasi massa juga sedang dilakukan oleh Front Pepera PB di seluruh pulau Jawa dan Bali. Dari Denpasar sampai Banten, massa rakyat Papua dan rakyat Indonesia yang mendukung kemerdekaan Papua sedang bersiap-siap untuk melakukan aksi massa besar-besaran di Istana Negara, mulai tanggal 15, 16 dan 17 Oktober secara berturut-turut.

Represi terjadi di Denpasar, dimana massa rakyat Papua diteror. Sampai berita ini dirilis, 3 orang anggota Front Pepera PB Denpasar dilaporkan ditahan oleh otoritas penjajah. Sedangkan massa dari Malang, Surabaya, Semarang, Jogjakarta dan Bogor dipastikan akan tiba di Jakarta besok pagi untuk langsung melakukan serangan fajar ke Istana Negara.
***
Catatan:
Tulisan ini bersumber dari Blogsite http://wptoday.wordpress.com.
Silahkan mengunjungi Blogsite tersebut untuk membaca tulisan lainnya

History of Papua


 History of Netherlands New Guinea
(Irian Jaya/West Papua)
 
1. Before 1828.

Papuans occupied the Sahul continent (now partly submerged, see 1, 2, 3) at least 40,000 years ago. As hunting-and-gathering peoples whose ways of life were adapted to tropical rain forest, they occupied the equatorial zone that, after sea levels rose at the end of the Pleistocene glacial period, became the vast island of New Guinea.
Early civilization in Java and Sumatra was heavily influenced by India and dates back to 100 AD. The Borobudur (a huge Buddhist monument, outside Yogyakarta, Java) was built between about AD 778 and 850. In 1292 Marco Polo visits Sumatra and Java.
In 1509 the Portuguese visit Melaka (formerly Malacca, West Malaysia) for the first time, with the goal to take control of trade. Later trade empires would include Gowa (on Celebes), Banten (Bantam, former city and sultanate of Java), and the Dutch VOC or East India Company. The original goal of all of them was money before political power, but they did not always stick to their original goal.
New Guinea was probably first sighted by Portuguese Antonio d’Abreu aboard the Santa Caterina in the Fall of 1511. It was first visited either by the Portuguese Jorge de Meneses, driven on his way from Gowa to Ternate in 1526 to take shelter at "Isla Versija" (which has been identified with Warsia, a place on the N.W. coast, but may possibly be the island of Waigeo; he stayed till May 1527); or by the Spaniard Alvaro de S. Ceron Saavedra in April 1528, who stayed there for 30 days due to lack of wind. It was subsequently visited by Spanish, Dutch, German and English explorers. On June 13, 1545 the Spaniard YƱigo Ortiz de Retez sailed with his ship "San Juan" from Tidore to Mexico. He landed on 3 Northern islands which he named "La Selvillana" (Supiori Island), "La Callega" (Biak Island) and "Los Martyre" (Numfor Island). A few days later he landed at mouth of the River Bei (east of the Mamberamo River) which he named San Augustin. He thought the land to be similar to another Spanish possession, "Guinea" on Africa's west coast, hence the name "Nueva Guinea". Only 100 years later it was discovered that New Guinea was an island (in 1607 the Spaniard Luiz Vaez de Torres had remarked that, but the information was not made available to carthographers then. The Torres Strait is between Australia and New Guinea).
The Dutch East Indies Company (Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC; 1602-1799) had been granted many of the powers of a sovereign state by the government of the Netherlands, partly because communication between the Netherlands and Asia was so slow that colonial activities simply could not be directed from Amsterdam. In 1605 the VOC send an expedition east from Bantam, the ship Duyfken poked about the southern side of New Guinea in search of sources of gold and in 1642 Abel Tasman explored its coasts for the VOC, on a voyage back from New Zealand. For the VOC New Guinea had little interest. They hoped that the Sultans of Tidore (like Ternate, an ancient and powerful sultanate, under Dutch rule since 1654 but recognizing the sultan's nominal power) would lessen piracy and stop Spain and England from using it as a base to reach the Spice Islands. (Spice trade is the merchandising of spices and herbs, an enterprise of ancient origins and great cultural and economic significance. The Spice Islands today consist of the Moluccas (Indonesian Maluku Propinsi), comprising about 1,000 islands between Celebes and West Papua: Ambon, Aru, Bacan, Banda, Barbar, Baru, Ceram, Gebe, Halmahera, Haruku, Kai, Leti, Mayu, Morotai, Obi, Saparua, Sula, Tanimbar, Ternate, Tidore and Wetar islands/island groups.)
In 1610 the VOC creates the post of Governor-General for the Dutch East Indies, a position which lasts till 1941.
The first European attempt at colonization of New Guinea was made in 1793 by Lieutenant John Hayes, a British naval officer, near Manokwari. Early attempts at settlement by British and Dutch failed due to disease and the hostility of the Papuan people.
March 17, 1824: The British and Dutch sign "Treaty of London" and divide the Indies. The Dutch claim Sumatra, Java, Maluku, Irian Jaya; the British claim Malaya and Singapore, and retain an interest in North Borneo. Aceh is supposed to remain independent. Many of the boundaries defined in this treaty would later become boundaries of the Republic of Indonesia. 


2. 1828-1941 - Carved up.

The Dutch claimed the area West of 141° East longitude, on August 24, 1828, by proclamation. In 1895 the Eastern border was set at 141° 1'47" E.l. The first establishment was in Merkusoord/Fort Du Bus, in 1828 and abandoned in 1836. The first permanent administrative posts, at Fakfak and Manokwari, were not set up until 1898.
In 1884 Germany annexed the Northeast as Kaiser Wilhelmsland. In 1899 the German government gave exploitation rights to the "Neuguinea Compagnie".
The Southeast was claimed by England on November 6, 1884, with the establishment of Port Moresby. In 1906 British New Guinea was administered by Australia as "Papua". German New Guinea and the Solomon Islands formed the "New Guinea Territory" administered by Australia as a mandated territory of the League of Nations in 1921, after World War I. In 1945 Australia combined its administration of Papua and that of the mandate into the "Territory of Papua New Guinea", with the common capital at Port Moresby. From 1946 it became the "U.N. Australian Trust Territory of New Guinea". Self-government was achieved on December 1, 1973, and full independence from Australia on September 16, 1975.

Netherlands East Indies (present day Indonesia) was first named "Indonesia" by a German geographer in 1884, although this name is thought to derive from Indos Nesos, "Indian Islands," in the ancient trading language of the region.
When the island was carved up between the Netherlands, Britain and Germany, none of these nations had an administrative presence. Late in the century, spurred on by British and German activity in the east, Holland established an administrative post in Manokwari and Fakfak in 1898 and Merauke in 1902 and continued to maintain its 15 outposts in Dutch New Guinea until the Japanese invasion in 1941.
Haji Misbach, an Islamic Communist, was exiled by the Dutch to Irian in 1924. In 1927, about 1,300 Communists were imprisoned in Irian after an uprising in Java. 


3. 1941-1945: World War II.

New Guinea dominates the Solomons and the western sea lanes to Australia. To control New Guinea is to control the Island Continent, so the battle for New Guinea is the battle for Australia. To regain control of New Guinea the Allies (Americans & Australians) had to eject the Japanese from 1,200 miles of fortified coastline. 13,000 Japanese died here; 2,100 Australians died and 3,500 were wounded; and 2,000 Americans died and 950 were wounded.
The Japanese invaded New Guinea from November 1941 till April 1942 and occupied the Dutch part (except for Merauke) and the northern Australian part (Fakfak fell April 1, Manokwari April 12). After the bombing of Australia's harbor Darwin in February 1942, they set up headquarters in Buna and the allied headquarters were in Port Moresby, divided by the steep slopes of the Owen Stanley Range, connected by the Kokoda trail (for which the Australian diggers cut out a 4,000 step staircase).
Besides the Japanese, malaria was a considerable enemy.
After the Battle of the Coral Sea, May 4-8, 1942, the battle went slowly westward to the Salamander's/Bird's head, for the jump off to the Philippines. Buna fell in January 23, 1943; Huon Bay September 4-22; Saidor January 2, 1944; Hollandia April 22; Biak, its Mokmer Airfield and Sansapor July 30, 1944.
America's secret weapon in the Pacific were Americans of Japanese ancestry: Issei (Japanese born Americans), Nisei (Americans of Japanese parents), Kisei (American born, educated in Japan).
In August 1944 the Japanese commander Lt. Gen. Hatazo Adachi retreated to jungle and guerilla warfare until Japan's surrender August 15, 1945. 


4. 1945-1962: Netherlands New Guinea.

With the end of the Second World War in 1945, neighboring Indonesia quickly declared independence from the Netherlands in the same year and claimed West Papua, East Timor, Sarawak, Brunei and North Borneo as part of its territory. On December 27, 1949 Indonesia gained full independence from Holland and attempted to claim and gain West Papua as part of its nationhood. Holland retained its colonial presence in West Papua and prepared to bring about its independence. Negotiations at this time between the Dutch and Indonesia included the active participation of West Papuans including the current Chairman of the OPM Mr Moses Werror. Through the 1950's Indonesia persistently maintained their claim to Papua and when invited to present their claim to an International Court of Law declined, given the fact that they had no legal claim on any part of Greater New Guinea. West New Guinea was under Dutch occupation from 1949 till 1962.
1956: New Guinea becomes part of "the Kingdom of the Netherlands" constitution.
Irian may be an abbreviation for ikut Republik Indonesia Anti Nederland ("join the Republic of Indonesia anti the Netherlands")
1957: Sukarno unifies power in his own person.
1957: Australia and Holland work closely together to define a blueprint for West Papuan independence. The principles were as follows:
1. The Netherlands and Australian Governments base their policies with regard to the territories of New Guinea, for which they are responsible, on the interests and inalienable rights of their inhabitants to conformity with the provisions and the spirit of the United Nation charter.
2. The territories of Netherlands New Guinea, the Australian Trust Territory of New Guinea and Papua, are geographically and ethnically related and future development of their respective populations must benefit from co-operation in policy and administration.
3. The Australian and Netherlands governments are therefore pursuing, and will continue to pursue, policies directed toward the political, economic, social and educational advancement of the peoples in the territories in a manner which recognizes this ethnological and geographical affinity.
4. At the same time, the two governments will continue, and strengthen, the co-operation existing between their respective administrations in the territories.
5. In so doing the two governments are determined to promote an uninterrupted development of this process. Unfortunately this positive statement toward self determination was never signed.
1961: a West Papuan Council (Nieuw Guinea Raad) is elected, a national anthem composed, a flag designed and 1970 set as the date for West Papuan independence. This infuriated Indonesia and it duly responded by sending in an invasion force of 1,419 guerilla soldiers, with the intention of sending in a main invasion force later. War between Holland and Indonesia appeared inevitable with the likelihood of Australia becoming involved.
1961 proclamation of independence by an armed nationalist group, the Free Papua Movement (OPM, Organisasi Papua Merdeka). 


5. 1962-1963: UNTEA.

From October 1, 1962 till May 1, 1963, West New Guinea is part of UNTEA, United Nations Temporary Executive Authority.
1962: It was at this point that John F Kennedy intervened. The Soviet Union had brokered a billion dollar arms deal with Indonesia and the US countered this with a comparable deal viewing Indonesia as a prize too important to lose to the Communist Bloc. Scared of the possible threat of further communist expansion in SE Asia and the looming Vietnam conflict Kennedy pressured Holland and Australia to cease all involvement in granting West Papua independence, and offers West Papua to Indonesia. Secret negotiations ensued, which involved no West Papuans (unlike in 1949), to give West Papua to Indonesia. A proviso was included, that there would be a United Nations administrated 'Act of Free Choice' by 1969, where the West Papuan people could decide their own future. To remain with Indonesia, or be independent?
The issue is heading toward a crisis, and the stakes involved - Indonesia's potential swing to a pro Soviet stance - dictate cold realpolitik ... So to gain us time in Indonesia, and to fight what will be at best a protracted conflict for what at best will be a pro-western neutralism, West New Guinea is the price." Pemberton, Ref 8. p87. He further went to say; "We must sell them (Australia) the proposition that a pro-Bloc (if not Communist) Indonesia is an entirely greater threat to them (and us) than Indonesian possession of a few thousand square miles of cannibal land." Pemberton, Ref 8. p.101.
See The United nations in West New Guinea, An unprecedented story. 


6. 1963-1969: Irian Barat/Irian Jaya.

On May 1, 1963, Indonesia became the new colonial power in West Papua New Guinea: the elected West Papuan Council is disbanded, West Papuan flags are banned and burnt, singing of the West Papuan national anthem 'O, My Land Papua' is banned, the founding of any new political parties is banned, and anything else to do with West Papuan independence is burnt and destroyed. The Organisasi Papua Merdeka, OPM resistance movement is founded to fight for West Papuan independence.
Suharto became President of Indonesia on March 12, 1967 (until 1998) and changed the name Sukarnapura to Jayapura (Djajapura), Irian Barat in Irian Jaya.
April 1967: Indonesia enters into agreements with Freeport (a New Orleans company and now Indonesia's largest single tax payer) for mining rights in West Papua's mountains.
It was transferred to Indonesia in 1963, with provision for the holding of a plebiscite by 1969 to decide Irian Barat's future.

7. After 1969: Irian Jaya.

July 15-August 2 1969: Village councils in Irian Jaya, under pressure from Opsus special forces in the region, vote in favor of joining Indonesia.
September 17, 1969: Irian Jaya is formally made a province of Indonesia.
In 1975 and 1977, some refugees from Maluku who had fought against the Republic of Indonesia as "Republik Maluku Selatan" (RMS) took hostages in terrorist incidents in the Netherlands. In spite of the heavy media coverage of these events, the actions drew little support inside Indonesia, partly because so many RMS supporters had fled to the Netherlands in the early 1950s.
August 26, 1975: UDT takes control in Timor by coup; the Portuguese (who had first arrived in 1515, with a continuous presence since 1700) simply left. In November Fretilin declares independence, demands withdrawal of Indonesian units. In December Indonesia launches a full invasion of East Timor. May 31, 1976: "People's Assembly" in East Timor declares for integration with Indonesia. July 17, 1976: East Timor officially becomes an Indonesian province.
September 16, 1975: Papua New Guinea gaines independence.
1991. The Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO) is founded in by representatives of occupied nations, indigenous peoples, minorities, and other disenfranchised peoples who currently struggle to preserve their cultural identities, protect their basic human rights, safeguard the environment or regain their lost countries.
January 3, 2000. During a visit to Irian Jaya over the weekend, Indonesian President Abdurrahman Wahid agreed that the easternmost province would revert to its former name of West Papua. "As for an independent Papua state ... I will not tolerate efforts to build a country within a country", he said.