“Uang saja tidak akan bisa membangun gereja ini,” ujar saya serius setiap kali membawa tour secara langsung ke lokasi pembangunan gereja ataupun tour visual melalui foto-foto pembangunan gereja dengan bangga. Saya biasa membanggakan pembangunan gereja di Bomomani. Bukan pertama-tama karena besarnya jumlah sumbangan uang dari para donatur (Jakarta, umat Bomomani dan Nabire) yang 1,6 milyar jumlahnya, bukan juga karena pastoran menutup biaya pembangunan yang tunainya bernilai sekitar 2 milyar itu. Apalagi jelas bukan karena ada seorang kontraktor yang menaksir biaya bisa mencapai sebelas milyar bila diproyekan atau bersihnya paling sedikit 4,5 milyar. Tapi saya bangga karena sumbangan non-tunai para petani, yang memang jarang punya uang tunai dengan angka nol lebih dari empat.



Akhirnya pada akhir bulan Agustus 2006, baja itu tiba di Nabire. Ukuran yang tidak sesuai pesanan membuat pusing panitia pembangunan gereja. Bagaimana kita mengangkut baja sepanjang 12 meter ke pedalaman, sementara untuk keluar dari pelabuhan saja sudah sulit. Kebetulan sekali terjadi kecelakaan di bulan Oktober 2006, mobil saya ditabrak sebuah truck tronton besar milik salah satu kontraktor jalan. Dengan lihai pak Agus membujuk penanggung jawab perusahaan itu, untuk mengangkut batang-batang baja ke Bomomani, 184 Km dari Nabire, mendaki setinggi 1500 meter ke pedalaman. Pendek kata, baja diangkut sampai ke KM 112, karena kondisi jalan yang buruk tidak memungkinkan truck itu melanjutkan perjalanan. Walau cuma sekali membantu, hal ini memberi insipirasi pak Charles, manajer kontraktor Manunggal, yang kebetulan teman baik pak Agus untuk membantu pengangkutan sisa baja yang terkatung-katung di pelabuhan, menambah bengkak tanggungan biaya panitia.
Total truck Manunggal itu dua kali turun naik dari Nabire ke KM 112 namun masalah belum selesai, karena batangan baja masih terlalu panjang untuk dimuat sebuah truk yang hanya mampu mengangkut muatan maksimal 2,5 ton dan panjang baknya hanya tiga meteran. Maka baja dipotong-potong menggunakan las blender. Barulah 12 rate truck-truck mulai menjemput batangan baja tersebut, ada yang diangkut langsung ke Bomomani ada juga yang terpaksa diturunkan dulu di KM 165 karena jalanan rusak berat, kondisi umum yang terjadi tiap tiga bulan apalagi beberapa kali truck mengalami gangguan mesin. Pemuda-pemuda punya bagian, ketika di hari hujan itu truck membongkar muatan baja di KM 165 dan meluncur kosong melewati kubangan sedalam 2 meter di tengah jalan trans antar kabupaten tersebut. Belasan orang muda berdatangan ke lokasi dan mulai mengangkut naik lagi batangan baja setelah truck-truck lolos dari lubang buaya di KM 165. Di awal Nopember 2006 semua batangan baja sudah terangkut ke Bomomani meskipun harus diselingi insiden pencurian sebatang baja yang dijual kembali di Nabire, menambah repot pekerjaan pak Agus Sipi.

Natal 2006 adalah uji coba pertama gereja baru yang belum ada dindingnya itu. Selesainya kontruksi baja dan pemasangan atap membuat umat berpikir kerja berat sudah selesai. Tapi mereka keliru… tanpa terasa, pekerjaan yang harus mereka sumbang semakin berat. Kini mereka harus menganyam jubi, yang membutuhkan ketekunan – sesuatu yang agaknya lebih berat ketimbang mengangkat balok kayu, batu dan pasir. Memang benar, umat kelihatan agak kurang berdatangan terlibat dalam pembangunan. Tidak seperti dulu.
Walau dua orang wartawan Kompas menginap dua minggu di pastoran guna meliput pembangunan gereja dan gerakan masyarakat pedalaman Papua di pertengahan Agustus 2007, umat secara relatif saya lihat loyo – meskipun demikian kedua wartawan masih sangat kagum akan semangat umat yang aktif menganyam jubi dan masih terus membawa batu dan pasir. Mereka kagum karena melihat sidik jari umat pada batu, kayu dan plafon gereja yang sedang dibangun…


Saat ini, 7 Februari 2008. Di Jakarta banyak orang keturunan tionghoa sedang ramai merayakan imlek, sementara di Bomomani umat dan panitia sama-sama bingung mengejar target penyelesaian pembangunan gereja, asrama dan PLTA yang semuanya harus rampung dalam pemberkatan dan peresmian 30 Maret 2008 nanti. Banyak tokoh umat bertanya, “apa bisa ditunda?” Saya bilang “tidak bisa tunda lagi!” apa bisa?…