Entri Populer

Minggu, 04 Desember 2011

SIDIK JARI UMAT MEMENUHI GEREJA

“Uang saja tidak akan bisa membangun gereja ini,” ujar saya serius setiap kali membawa tour secara langsung ke lokasi pembangunan gereja ataupun tour visual melalui foto-foto pembangunan gereja dengan bangga. Saya biasa membanggakan pembangunan gereja di Bomomani. Bukan pertama-tama karena besarnya jumlah sumbangan uang dari para donatur (Jakarta, umat Bomomani dan Nabire) yang 1,6 milyar jumlahnya, bukan juga karena pastoran menutup biaya pembangunan yang tunainya bernilai sekitar 2 milyar itu. Apalagi jelas bukan karena ada seorang kontraktor yang menaksir biaya bisa mencapai sebelas milyar bila diproyekan atau bersihnya paling sedikit 4,5 milyar. Tapi saya bangga karena sumbangan non-tunai para petani, yang memang jarang punya uang tunai dengan angka nol lebih dari empat.
10Juli06 (4)Betapa tidak. Ketika pembangunan gereja pertama-tama diumumkan awal tahun 2005 lalu, para petani inilah yang lebih dulu bergerak. Begitu diumumkan kebutuhan gereja akan kayu, sejumlah petani tuan tanah langsung menyumbangkan pohon, sementara yang lain bersiap mengangkut kayu dari lokasi-lokasi penebangan, yang letaknya di atas gunung-gunung tinggi sejauh 1 – 2 jam dari pusat paroki. Amandus Iyai, menerangkan miniatur design pertama gereja baruMenunggu kayu-kayu yang ditebang siap diangkut, para petani meratakan setengah hektar tanah berbukit di bagian utara kompleks misi. Sumbangan mereka tidak tunggu gaji di akhir bulan, yang lambat sekali disetor oleh kebanyakan pegawai, yang dalam suatu rapat diantara pegawai – diwarnai tangisan haru – menjanjikan sumbangan masing-masing senilai satu sampai tiga jutaan rupiah. Lucunya, dia yang pertama menangis haru ingin menyumbang, ternyata yang paling sukar ditagih janjinya.
A (1)Kayu dan perataan tanah itu kecil, mungkin demikian para petani mengatakan sumbangan yang telah dia berikan itu. Karena selanjutnya mereka mengumpulkan batu-batu kali dan pasir, yang bisa menimbun pastoran seluas 15 X 14 meter persegi. Belum merasa puas menyumbang, mereka masih rela ikut perintah pak Amandus Iyai atas permintaan pak Agus Sipi untuk memecahkan batuan granit hanya, bahan utama campuran beton, dengan palu buatan sendiri dari baut-baut jembatan hasil pulungan pak Agus. Saya hanya memecahkan sepuluh ember tapi mereka menghasilkan puluhan kubik pecahan kerikil yang menggunung setinggi dua meteran di areal sekitar 32 meter persegi. Tapak tangan mereka lecet dan berdarah-darah, tapi semangat mereka mengejar kuota memecah kerikil tidak pudar. Dan masih juga balok dan papan, batu serta pasir berdatangan ketika tangan lecet umat masih menghantam palu dari baut jembatan, membongkar cadas menjadi koral-koral kecil. Bumm, bumm, kling, kling… Suara palu menjadi irama di antara komauga dan wani, mulai akhir 2005 sampai enam bulan pertama di tahun 2006, dua jenis irama lagu tradisional yang kerap dinyanyikan di kalangan umat mapia.
Akhirnya pada akhir bulan Agustus 2006, baja itu tiba di Nabire. Ukuran yang tidak sesuai pesanan membuat pusing panitia pembangunan gereja. Bagaimana kita mengangkut baja sepanjang 12 meter ke pedalaman, sementara untuk keluar dari pelabuhan saja sudah sulit. Kebetulan sekali terjadi kecelakaan di bulan Oktober 2006, mobil saya ditabrak sebuah truck tronton besar milik salah satu kontraktor jalan. Dengan lihai pak Agus membujuk penanggung jawab perusahaan itu, untuk mengangkut batang-batang baja ke Bomomani, 184 Km dari Nabire, mendaki setinggi 1500 meter ke pedalaman. Pendek kata, baja diangkut sampai ke KM 112, karena kondisi jalan yang buruk tidak memungkinkan truck itu melanjutkan perjalanan. Walau cuma sekali membantu, hal ini memberi insipirasi pak Charles, manajer kontraktor Manunggal, yang kebetulan teman baik pak Agus untuk membantu pengangkutan sisa baja yang terkatung-katung di pelabuhan, menambah bengkak tanggungan biaya panitia.
Total truck Manunggal itu dua kali turun naik dari Nabire ke KM 112 namun masalah belum selesai, karena batangan baja masih terlalu panjang untuk dimuat sebuah truk yang hanya mampu mengangkut muatan maksimal 2,5 ton dan panjang baknya hanya tiga meteran. Maka baja dipotong-potong menggunakan las blender. Barulah 12 rate truck-truck mulai menjemput batangan baja tersebut, ada yang diangkut langsung ke Bomomani ada juga yang terpaksa diturunkan dulu di KM 165 karena jalanan rusak berat, kondisi umum yang terjadi tiap tiga bulan apalagi beberapa kali truck mengalami gangguan mesin. Pemuda-pemuda punya bagian, ketika di hari hujan itu truck membongkar muatan baja di KM 165 dan meluncur kosong melewati kubangan sedalam 2 meter di tengah jalan trans antar kabupaten tersebut. Belasan orang muda berdatangan ke lokasi dan mulai mengangkut naik lagi batangan baja setelah truck-truck lolos dari lubang buaya di KM 165. Di awal Nopember 2006 semua batangan baja sudah terangkut ke Bomomani meskipun harus diselingi insiden pencurian sebatang baja yang dijual kembali di Nabire, menambah repot pekerjaan pak Agus Sipi.
Gotong royong mengangkat menara lonceng 3 Des 2006 (1) Setelah para pekerja kontruksi baja datang dari Surabaya. Saya sengaja langsung membawa mereka naik ke pedalaman menelusuri medan off road alami Nabire – Bomomani. Kagum dan ngeri mereka akan medan yang begitu berat, hendak saya jadikan alasan menegur pengiriman potongan baja yang tidak sesuai pesanan. Hukuman buat mereka sudah menunggu di Bomomani, mereka harus menyambung kembali baja yang sudah dipotong-potong hingga sepanjang 4 meteran saja. Karena masih kagum dengan perjalanan yang amat menantang, mereka tidak merasa berat melakukan pekerjaan itu. Umat bahkan terheran-heran melihat kecepatan kerja mereka. Tanggal 15 Nopember 2006, seminggu setelah mereka tiba di Bomomani, ratusan umat berkumpul untuk selamatan menaikan kuda-kuda baja pertama untuk gereja baru, kuda-kuda baja pertama di seluruh pedalaman Papua. Tiga ekor babi dipanah dan setelah atraksi menarik saat mereka menaikkan kuda-kuda baja dengan teknik akrobatik yang berbahaya, para pekerja muslim dari Surabaya ini mencicip babi yang dihidangkan umat. Umat sekali lagi heran, sama herannya dengan para pekerja yang melihat semangat umat mengangkat batu-batu dan balok-balok besar ke lokasi pembangunan di akhir Nopember 2006… (baca ‘Jelajah Arsitektur Gereja’)
Natal 2006 adalah uji coba pertama gereja baru yang belum ada dindingnya itu. Selesainya kontruksi baja dan pemasangan atap membuat umat berpikir kerja berat sudah selesai. Tapi mereka keliru… tanpa terasa, pekerjaan yang harus mereka sumbang semakin berat. Kini mereka harus menganyam jubi, yang membutuhkan ketekunan – sesuatu yang agaknya lebih berat ketimbang mengangkat balok kayu, batu dan pasir. Memang benar, umat kelihatan agak kurang berdatangan terlibat dalam pembangunan. Tidak seperti dulu. pemasangan yubi untuk plafon Walau dua orang wartawan Kompas menginap dua minggu di pastoran guna meliput pembangunan gereja dan gerakan masyarakat pedalaman Papua di pertengahan Agustus 2007, umat secara relatif saya lihat loyo – meskipun demikian kedua wartawan masih sangat kagum akan semangat umat yang aktif menganyam jubi dan masih terus membawa batu dan pasir. Mereka kagum karena melihat sidik jari umat pada batu, kayu dan plafon gereja yang sedang dibangun…
23-25sept08 (24) Umat mulai kelihatan semangat lagi ketika di bulan Oktober 2007, aula dibongkar dan itu artinya rencana pembangunan asrama bukan sekedar omong kosong. Apalagi mudika sudah bergerak bersama Wahyu, relawan dari Jakarta, menggali terusan untuk membangun PLTA di kali Yoai. Seorang kontraktor pernah menaksir biaya proyek pembangunan gereja saja sekitar 7 sampai 11 milyar bila pemerintah yang buat, apalagi dengan proyek asrama dan listrik tenaga air. Umat melihat gentingnya situasi, mereka menghitung kemampuan, menghitung tenaga, menghitung dana dan menghitung hari peresmian di akhir Maret 2008 yang semakin mendekat.
Saat ini, 7 Februari 2008. Di Jakarta banyak orang keturunan tionghoa sedang ramai merayakan imlek, sementara di Bomomani umat dan panitia sama-sama bingung mengejar target penyelesaian pembangunan gereja, asrama dan PLTA yang semuanya harus rampung dalam pemberkatan dan peresmian 30 Maret 2008 nanti. Banyak tokoh umat bertanya, “apa bisa ditunda?” Saya bilang “tidak bisa tunda lagi!” apa bisa?…